Cerita
rakyat ini berasal dari desa Batu Raya, kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten
Landak Provinsi Kalimantan Barat.
Pada suatu hari di Batu Raya
diadakan lah sebuah pesta atau dalam bahasa dayak kanayatn disebut dengan
“gawe”. Seluruh warga desa Batu Raya pun ikut meramaikan gawe tersebut, tak
terkecuali seorang nenek yang sangat miskin beserta cucu satu-satunya. Nenek tersebut
bernama ne’ minta.
Semua warga tersebut saling
bercengkrama dan bercerita tentang keseharian mereka, namun mereka tidak
memperdulikan kehadiran ne’ minta dan cucunya, ketikane’ minta dan cucunya
berada di gawe tersebut, tiba-tiba cucu ne’ minta ingin memakan tumpi’ (makanan sejenis cucur) dan juga babotn’ (daging babi). Cucu meminta
makanan-makanan tersebut pada orang-orang yang ada di gawe tersebut, namun tak
ada yang memperdulikan permintaannya. Tiba-tiba ada seorang warga yang
membohongi cucu ne’ minta dengan membawa cucu ne’ minta ke dapur, kemudian
memberi cucu ne’ minta potongan jinton(potongan
karet yang telah di sadap). Cucu ne’ minta sangat senang karena ia mengira
bahwa potongan jinton tersebut adalah daging babotn.
Kemudian cucu ne’ minta keluar
dari dapur dan menemui neneknya dengan gembira, sambil menggigit jinton yang
berbau tidak sedap dan sangat liat sekali. Melihat hal tersebut ne’ minta pun
mengambil potongan jinton yang di pikirnya adalah babotn yang diberikan warga
pada cucunya. Setelah ne’ minta mengambil jinton tersebut, baru lah ia
mengetahui bahwa cucunya telah dibohongi dan ia bertanya kepada cucunya. “ahe nang kao makatn nian cu? Nian jinton
gatah, ame dimakatn!” (apa yang kamu makan ini, cu? Ini jinton getah,
jangan di makan!).
Perbuatan warga itupun membuat
Ne’ Minta sangat tersinggung dan marah besar, ia pun bermaksud hendak memberi
pelajaran kepada orang kampung yang telah mempermainkan dan menghina dia dan
cucunya. Ne’ Minta dan cucunya pun pulang ke rumah, ia mengambil kucing
peliharaannya. Kemudian kucing itu didandani seperti manusia memakai baju dan
celana. Setelah kucing itu didandani, kemudian Ne’ Minta membawanya ke
tengah-tengah keramaian pesta, kemudian melepaskannya di tengah keramaian.
Pada saat kucing itu dilepaskan
Ne’ Minta, orang-orang di pesta itu tertawa terbahak-bahak, melihat penampilan
kucing yang berdandan seperti manusia. Saat itulah Ne’ Minta dan cucunya pergi
meninggalkan kampung itu dengan membawa 1 buah kelapa. Telur satu biji, dan
bambu tumiang untuk tongkatnya. Kucing itu menari dengan girangnya,
demikian juga orang-orang kampung semakin menjadi-jadi menertawainya.
Tiba-tiba, cuaca yang tadinya begitu cerah, sekarang berubah menjadi gelap.
Orang kampung yang menertawai kucing itu tadi pun menjadi kaget terheran-heran
melihat hari yang begitu gelap seperti malam tetapi kucing itupun menari terus
tanpa menghiraukan keadaan alam yang terjadi. Di tengah-tengah keasikan
itu tiba-tiba datang angin dan petir menyambar berulang kali ditempat
orang kampung mengadakan pesta. Tempat itu berantakan dan hancur
berkeping-keping. Setelah angin dan petir sudah mulai reda, cuaca mulai berubah
terang kembali sehingga terlihat yang disekelilingnya. Akibat tiupan angin
topan dan sambaran petir tempat pesta dan kampung berubah semua menjadi batu.
Sepeninggalan Ne’ Minta dan
cucunya, mereka sesungguhnya mengetahui apa yang bakal terjadi di kampung
mereka. Bunyi petir yang menggelegar dan tiupan angin kencang dapat mereka
dengar dan rasakan di tempat pengungsian. Sesampainya di sebuah kompokng, Ne’
minta lalu mentancapkan bambu tumiang (tongkatnya) ketanah dan menanam kelapa
yang dibawanya. Telur yang dibawanya kemudian menetas dan menjadi ayam jantan.
Ne’ Minta dan cucunya hidup tenang tanpa ada yang mengganggu dan menghina
mereka.
Hingga saat ini bambu itu
masih hidup dan menjadi rumpun bambu yang besar. Jika bambu itu dipotong maka
akan mengeluarkan darah. Demikian pula tempat pesta yang merupakan bukti-bukti
kejadian itu masih ada di daerah Batu Raya, yang menunjukkan tempat itu pernah
dihuni oleh manusia. Banyak barang-barang yang pada zaman dahulu itu bisa
dilihat di tempat ini, misalnya batu yang berbentuk peti, batu yang berbentuk
WC (pajohatn) dan batu yang berbentuk tempat duduk (entong). Namun ketika kita
mengabadikannya dalam bentuk foto, batu-batu tersebut tidak nampak bentuknya
hanya orang yang beruntung yang dapat mengabadikannya dalam bentuk foto.
Sekarang tempat itu
dikeramatkan dan tak boleh di kotori dan juga tak boleh di sentuh sembarangan,
ada kalanya di tempat itu kita dapat melihat seorang ibu menyusui anaknya.
Konon ada orang yang pernah melihat kucing Ne’ Minta dalam peti yang sudah
menjadi batu itu. Mulai kejadian pada zaman dahulu hingga saat ini tempat itu
diberi nama Batu Abur.
DOKUMENTASI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar